SUBANG,-Ketika
berbicara mengenai partisipasi publik dalam Pasal 66 UU PPLH, sering sekali
dihubungkan konsep yang dinamakan dengan SLAPP. SLAPP merupakan
singkatan dari Strategic Lawsuit Againts Public Participation, yang
dapat diterjemahkan sebagai strategi melawan partisipasi publik melalui
gugatan/pelaporan pidana. Pada pembahasan di atas telah disebutkan bahwa Pasal
66 UU PPLH merupakan perlindungan bagi partisipasi publik untuk memperjuangkan
hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. SLAPP merupakan salah
satu konsep yang ingin dicegah dengan penerapan Pasal 66 UU PPLH, sehingga
banyak yang menyebutkan ketentuan pasal ini dengan nama Anti-SLAPP.
Pasal 66 UU PPLH dapat saja disebutkan sebagai
ketentuan yang mengatur mengenai Anti-SLAPP, namun harus dipahami belum
ada definisi SLAPP yang diakui di Indonesia. Belum adanya definisi yang
baku mengenai SLAPP membuat konsep ini akan lebih mudah dikenali lewat kriteria
sebagaimana yang disebutkan oleh Prof. George W. Pring (University of Denver),
yaitu:
(1) Adanya keluhan, pengaduan, tuntutan dari
masyarakat atas dampak kerusakan yang terjadi
(2) Dilakukan terhadap masyarakat secara
kolektif, individual, dan organisasi non pemerintah
(3) Adanya komunikasi yang dilakukan kepada
pemerintah atau pejabat yang berwenang
(4) Dilakukan terhadap isu yang menyangkut kepentingan
umum atau perhatian publik
Empat kriteria di atas tentunya dapat terus berkembang
mengikuti kondisi yang terjadi di lapangan. Dari kriteria yang disampaikan oleh
Pring dapat dilihat bahwa pada umumnya yang menjadi “korban” dari tindakan SLAPP
adalah masyarakat. Pring dan Penelope Canan kemudian menegaskan pihak yang
menjadi target SLAPP selain masyarakat biasanya adalah organisasi non
pemerintah, jurnalis dan media. Pada perkembangan beberapa kasus SLAPP,
pemidanaan atau gugatan yang dilakukan lebih bersifat intimidatif dan mengancam
untuk menimbulkan ketakutan bagi masyarakat yang menjadi korban. Hal seperti
ini menjadi salah satu contoh yang dapat menghilangkan partipasi publik.
Apakah Pasal 66 UU PPLH merupakan Anti-SLAPP?
Sebelum menentukan apakah Pasal 66 UU PPLH merupakan
ketentuan Anti-SLAPP atau tidak, harus diketahui terlebih dahulu
tipe-tipe SLAPP. SLAPP merupakan suatu konsep yang dilakukan
untuk menghilangkan partisipasi publik melalui pelaporan pidana atau gugatan
perdata ke pengadilan. Ada beberapa alasan mengapa SLAPP
dilakukan:
(1) Untuk memberikan intimidasi, teror, ancaman,
dan tindakan sejenis lainnya kepada masyarakat/orang perorangan yang ingin
memperjuangkan haknya
(2) Untuk menjaga nama baik pemerintah atau
perusahaan yang diduga melakukan pelanggaran terhadap hak-hak masyarakat
James A Wells memberikan beberapa tipe yang menjadi
dasar dilakukannya SLAPP, yaitu:
(1) Adanya fitnah
(2) Adanya gangguan yang mempengaruhi aktivitas
sehari-hari
(3) Adanya gangguan yang dilakukan terhadap
pribadi (privat)
(4) Adanya tindakan yang berbahaya
(5) Adanya tindakan yang menimbulkan kerugian
Beberapa tipe di atas biasanya menjadi alasan yang
dilakukan oleh pelapor atau penggugat untuk melakukan SLAPP. Jika
melihat ketentuan perundang-undangan Indonesia, maka kemungkinan terjadinya SLAPP
sangat tinggi, apalagi dengan masih berlakunya pasal pencemaran nama baik yang
dapat dijadikan salah satu sebab terjadinya SLAPP.
Ketentuan Pasal 66 UU PPLH sejatinya merupakan Anti-SLAPP,
namun penegak hukum harus memiliki pemahaman yang lebih mengenai konsep Anti-SLAPP.
Hal ini dikarenakan penjelasan Pasal 66 UU PPLH dapat menimbulkan multitafsir.
Penjelasan Pasal 66
Ketentuan ini dimaksudkan untuk melindungi korban
dan/atau pelapor yang menempuh cara hukum akibat
pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup.
Perlindungan ini dimaksudkan
untuk mencegah tindakan pembalasan dari
terlapor melalui pemidanaan dan/atau gugatan
perdata dengan tetap memperhatikan kemandirian
peradilan.
“Tindakan pembalasan” pada penjelasan Pasal 66
sebaiknya jangan dibaca bahwa Pasal 66 hanya berlaku jika korban dan/atau
pelapor sudah menempuh cara hukum, melainkan harus dibaca bahwa tindakan SLAPP
dapat terjadi kapan saja, baik sebelum atau sesudah korban dan/atau pelapor
menempuh cara hukum. Pemahaman akan konsep Anti-SLAPP akan lebih baik
jika diterjemahkan dalam hukum acara di Indonesia. Hal ini akan membuat
penanganan kasus-kasus yang ada indikasi SLAPP akan lebih maksimal.
Kesimpulan
Dari berbagai penjelasan di atas, dapat disimpulkan
bahwa Pasal 66 UU PPLH merupakan perlindungan terhadap partisipasi publik dan
pada hakikatnya merupakan pengaturan untuk mencegah terjadinya SLAPP.
Ketentuan Pasal 66 UU PPLH dapat menjadi langkah awal regulasi Anti-SLAPP
di Indonesia dan pengembangan konsep Anti-SLAPP sampai kepada Hukum
Acara di Indonesia. (internet)by kplh subang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar