Sabtu, 11 Januari 2014

UNDANG UNDANG ANTI SLAPP ITU APA?



SUBANG,-Ketika berbicara mengenai partisipasi publik dalam Pasal 66 UU PPLH, sering sekali dihubungkan konsep yang dinamakan dengan SLAPP. SLAPP merupakan singkatan dari Strategic Lawsuit Againts Public Participation, yang dapat diterjemahkan sebagai strategi melawan partisipasi publik melalui gugatan/pelaporan pidana. Pada pembahasan di atas telah disebutkan bahwa Pasal 66 UU PPLH merupakan perlindungan bagi partisipasi publik untuk memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. SLAPP merupakan salah satu konsep yang ingin dicegah dengan penerapan Pasal 66 UU PPLH, sehingga banyak yang menyebutkan ketentuan pasal ini dengan nama Anti-SLAPP.
Pasal 66 UU PPLH dapat saja disebutkan sebagai ketentuan yang mengatur mengenai Anti-SLAPP, namun harus dipahami belum ada definisi SLAPP yang diakui di Indonesia. Belum adanya definisi yang baku mengenai SLAPP membuat konsep ini akan lebih mudah dikenali lewat kriteria sebagaimana yang disebutkan oleh Prof. George W. Pring (University of Denver), yaitu:
(1)  Adanya keluhan, pengaduan, tuntutan dari masyarakat atas dampak kerusakan yang terjadi
(2)  Dilakukan terhadap masyarakat secara kolektif, individual, dan organisasi non pemerintah
(3)  Adanya komunikasi yang dilakukan kepada pemerintah atau pejabat yang berwenang
(4)  Dilakukan terhadap isu yang menyangkut kepentingan umum atau perhatian publik
Empat kriteria di atas tentunya dapat terus berkembang mengikuti kondisi yang terjadi di lapangan. Dari kriteria yang disampaikan oleh Pring dapat dilihat bahwa pada umumnya yang menjadi “korban” dari tindakan SLAPP adalah masyarakat. Pring dan Penelope Canan kemudian menegaskan pihak yang menjadi target SLAPP selain masyarakat biasanya adalah organisasi non pemerintah, jurnalis dan media. Pada perkembangan beberapa kasus SLAPP, pemidanaan atau gugatan yang dilakukan lebih bersifat intimidatif dan mengancam untuk menimbulkan ketakutan bagi masyarakat yang menjadi korban. Hal seperti ini menjadi salah satu contoh yang dapat menghilangkan partipasi publik.
Apakah Pasal 66 UU PPLH merupakan Anti-SLAPP?
Sebelum menentukan apakah Pasal 66 UU PPLH merupakan ketentuan Anti-SLAPP atau tidak, harus diketahui terlebih dahulu tipe-tipe SLAPP. SLAPP merupakan suatu konsep yang dilakukan untuk menghilangkan partisipasi publik melalui pelaporan pidana atau gugatan perdata ke pengadilan.  Ada beberapa alasan mengapa SLAPP dilakukan:
(1)  Untuk memberikan intimidasi, teror, ancaman, dan tindakan sejenis lainnya kepada masyarakat/orang perorangan yang ingin memperjuangkan haknya
(2)  Untuk menjaga nama baik pemerintah atau perusahaan yang diduga melakukan pelanggaran terhadap hak-hak masyarakat
James A Wells memberikan beberapa tipe yang menjadi dasar dilakukannya SLAPP, yaitu:
(1)  Adanya fitnah
(2)  Adanya gangguan yang mempengaruhi aktivitas sehari-hari
(3)  Adanya gangguan yang dilakukan terhadap pribadi (privat)
(4)  Adanya tindakan yang berbahaya
(5)  Adanya tindakan yang menimbulkan kerugian

Beberapa tipe di atas biasanya menjadi alasan yang dilakukan oleh pelapor atau penggugat untuk melakukan SLAPP. Jika melihat ketentuan perundang-undangan Indonesia, maka kemungkinan terjadinya SLAPP sangat tinggi, apalagi dengan masih berlakunya pasal pencemaran nama baik yang dapat dijadikan salah satu sebab terjadinya SLAPP.
Ketentuan Pasal 66 UU PPLH sejatinya merupakan Anti-SLAPP, namun penegak hukum harus memiliki pemahaman yang lebih mengenai konsep Anti-SLAPP. Hal ini dikarenakan penjelasan Pasal 66 UU PPLH dapat menimbulkan multitafsir.
 Penjelasan Pasal 66
Ketentuan ini dimaksudkan untuk melindungi korban dan/atau pelapor yang  menempuh  cara  hukum  akibat  pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup.
Perlindungan  ini  dimaksudkan  untuk  mencegah  tindakan pembalasan  dari  terlapor  melalui  pemidanaan  dan/atau gugatan  perdata  dengan  tetap  memperhatikan  kemandirian peradilan.
“Tindakan pembalasan” pada penjelasan Pasal 66 sebaiknya jangan dibaca bahwa Pasal 66 hanya berlaku jika korban dan/atau pelapor sudah menempuh cara hukum, melainkan harus dibaca bahwa tindakan SLAPP dapat terjadi kapan saja, baik sebelum atau sesudah korban dan/atau pelapor menempuh cara hukum. Pemahaman akan konsep Anti-SLAPP akan lebih baik jika diterjemahkan dalam hukum acara di Indonesia. Hal ini akan membuat penanganan kasus-kasus yang ada indikasi SLAPP akan lebih maksimal.
Kesimpulan
Dari berbagai penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa Pasal 66 UU PPLH merupakan perlindungan terhadap partisipasi publik dan pada hakikatnya merupakan pengaturan untuk mencegah terjadinya SLAPP. Ketentuan Pasal 66 UU PPLH dapat menjadi langkah awal regulasi Anti-SLAPP di Indonesia dan pengembangan konsep Anti-SLAPP sampai kepada Hukum Acara di Indonesia. (internet)by kplh subang

PALING NGETOP